Academic

The good and bad of being a research student: Refleksi Sembilan Bulan Studi Doktoral

Sebuah pesan baru masuk ke e-mail saya pagi itu. Saya pun seketika meletakkan kertas berisikan persamaan-persamaan matematis di tangan kiri ke atas meja kerja dan berhenti melanjutkan coding yang tengah saya susun. Pengirim pesan itu tak saya kenal. Sepertinya bagian akademik kampus. Tujuan utamanya adalah supervisor saya. Saya menerima pesan itu karena e-mail saya ikut dicantumkan sebagai tembusan. Membaca isinya membuat saya tertegun sejenak:

The expected start date of the upgrade period for Ahmad Ataka Awwalur Rizqi has now been reached

Pesan itu mengabarkan bahwa secara legal formal saya sudah bisa di-“upgrade” menjadi Ph.D Student. Sistem studi doktoral di UK memang mengharuskan mahasiswa menempuh masa “9 bulan percobaan” sebagai Ph.D Candidate sebelum menempuh ujian transfer antara bulan ke-9 hingga ke-18. Artinya, saat ini sudah 9 bulan saya menempuh studi di sini. Sembilan bulan… Sedemikian cepat waktu berlalu…

kcl

Tak terasa, banyak hal terjadi selama sembilan bulan terakhir ini. Rutinitas yang saya lakukan setiap harinya di kantor dan di lab, mulai pagi hingga petang atau bahkan larut malam, hampir tak memberikan saya kesempatan untuk berhenti sejenak dan merenungkan semuanya. Baru kali ini saja saya seolah disadarkan oleh pesan tadi betapa saya sudah melalui hampir seperlima dari total maksimal 48 bulan studi doktoral sebagai research student yang akan saya tempuh. Ada hal-hal yang tak sesuai dengan apa yang selama ini saya perkirakan, tapi banyak juga yang jauh melebihi ekspektasi saya. Ada hal-hal baik yang saya rasakan meski tak sedikit juga tantangan-tantangan baru yang tak terpikirkan sebelumnya.

The good

Apa saja sisi baik yang saya alami selama menjadi research student di UK?

Yang pertama adalah kebebasan mengelola aktivitas saya sehari-hari. Sebagai research student, saya tidak diharuskan menempuh kuliah formal (course) dalam kelas, kecuali sebatas kuliah-kuliah singkat yang tuntas dalam 1 pertemuan. Yang diwajibkan kampus hanya 10 pertemuan per tahun. Yang dibahas pun sederhana, karena lebih ke arah pengayaan skill sebagai seorang peneliti. Akibatnya, saya “bebas” mengatur jadwal saya setiap harinya. Kadang saya datang pagi pulang sore. Adakalanya datang agak siang dan pulang lebih larut. Kadang cuma mampir di kampus beberapa jam saja. Di lain waktu, pernah juga sehari-semalam berkutat di lab. Saya seperti menjadi bos di kantor saya sendiri.

Yang kedua adalah kebebasan berkreasi dan menjelajahi dunia keilmuan yang saya cintai. Di masa-masa awal studi, saya sangat leluasa “bermain” dalam bidang ilmu favorit saya. Supervisor tidak pernah mengekang saya untuk fokus di satu permasalahan spesifik. Sebaliknya, beliau sering mendorong saya untuk mengeksplor lebih jauh bidang-bidang yang menarik minat saya sepanjang tidak keluar dari koridor yang telah kami sepakati di awal. Didukung akses mumpuni ke jurnal-jurnal internasional serta perpustakaan yang menyediakan buku-buku berkualitas mulai dari yang klasik hingga modern, saya pun benar-benar dimanjakan setiap harinya. Hari ini baca paper. Besok pelajari hal baru dari satu buku. Besoknya lagi uji metode di simulasi. Selanjutnya, bandingkan dengan metode-metode lain. Pekan berikutnya, pengujian di lab dan analisa data. Semuanya bebas tanpa kekangan. Saya hanya cukup lapor ke supervisor saja setiap pekannya selama meeting grup riset. Dengan kenyamanan seperti ini, tak heran kalau ide-ide liar seringkali bermunculan di kepala saya, sampai kadang bingung mau mulai dari yang mana. Baru beberapa pekan terakhir saja supervisor meminta saya untuk mulai memilah-milah mana di antara begitu banyak “mainan” yang saya temukan selama ini yang akan saya pilih sebagai “teman” dalam beberapa tahun ke depan.

Yang ketiga adalah kesempatan belajar dan berkolaborasi. Sebagai bagian dari research group yang anggotanya punya keahlian beragam, saya belajar banyak hal selama berinteraksi dengan rekan-rekan lainnya, baik sesama mahasiswa maupun postdoctoral researcher, yaitu mereka yang sudah bukan mahasiswa lagi tapi secara profesional digaji oleh kampus / lab untuk meneliti suatu permasalahan. Belum lagi karena lab tempat saya berada saat ini masih terlibat dalam dua proyek besar di bawah pendanaan European Commission, bersama dengan kampus, lembaga riset, dan bahkan perusahaan / industri dari berbagai penjuru Eropa. Saya jadi merasakan pengalaman berkolaborasi dengan para peneliti yang sudah makan asam garam dunia riset robotika selama bertahun-tahun. Salah satu yang paling berkesan tentu saja ketika saya bisa berkesempatan datang ke salah satu konferensi internasional terpenting di bidang robotika sebagai wakil proyek yang lab saya ikuti.

Those are the good things. Tapi, ternyata tak semuanya seindah yang saya bayangkan.

phd

The bad

Ada juga tantangan-tantangan baru yang saya temui yang tak pernah terpikirkan sebelumnya.

Salah satunya adalah perasaan “sendirian”. Jangan tertawa dulu. Ini bukan kegalauan anak muda yang hidup seorang diri di tanah rantau jauh dari kampung halaman, meski itu juga satu tantangan lain yang mesti saya hadapi. Perasaan “sendiri” di sini adalah “sendiri” secara akademis, karena saya memang tak diminta masuk ke dalam kelas / course layaknya mahasiswa sarjana ataupun master. Rasa kebersamaan yang dulu begitu kental terasa saat saya berjibaku mengerjakan tugas dan belajar jelang ujian saat S1 tak lagi saya rasakan. Setiap research student memang dituntut untuk menyelesaikan permasalahan yang unik yang pasti berbeda dengan mahasiswa lainnya. Kalau dulu bisa diskusi seru dengan teman sekelas terkait PR, kini saya tak lagi bisa melakukannya seleluasa itu. Karena masalah yang saya hadapi bisa jadi sepenuhnya berbeda dengan bidang yang dikuasai teman sebelah saya. Diskusi dan tukar pikiran masih bisa terjadi, tapi selalu ada titik di mana kita tak bisa mendapatkan masukan apa pun dari orang lain. Di sini terus terang saya iri dengan teman-teman Master yang masih merasakan nikmatnya berdiskusi dengan teman sekelas.

Hal lain adalah tidak adanya “standar” baik-buruk progress kita selain komentar dari supervisor. Karena tak ada kelas, otomatis tak ada tugas dan ujian tulis yang mesti saya tempuh secara berkala. Perkembangan saya benar-benar dinilai hanya oleh supervisor selama pertemuan rutin pekanan. Mungkin ini ada sisi baiknya. Saya jadi tak perlu repot-repot belajar buat ujian misalnya. Tapi saya jadi tak bisa benar-benar menguji bagaimana kualitas kerjaan saya secara kuantitatif. Tak jarang pertanyaan-pertanyaan penuh keraguan muncul di kepala saya. Apakah yang saya kerjakan ini cukup bagus? Benarkah ini lebih baik dari apa yang dikerjakan orang lain? Benarkah ini layak untuk diteliti? Apa iya di luar sana belum ada yang terpikirkan mengerjakan ini? Apa betul yang saya kerjakan ini benar-benar menjawab permasalahan atau jangan-jangan hanya sekedar buang waktu dan tenaga saja?

Hal lain yang juga tidak menyenangkan adalah masa kelulusan tiap mahasiswa yang sangat bervariatif. Dalam research program, rasanya seperti tak ada “awal tahun ajaran” ataupun “akhir tahun ajaran”. Mahasiswa bisa memulai studi kapan saja dan bisa mengakhiri studi kapan saja sepanjang masih dalam batasan durasi maksimal yang telah ditentukan. Memang secara legal formal ada 3 masa intake bagi mahasiswa baru untuk memulai studinya, yaitu di bulan September, Januari, dan April. Tapi, faktanya mahasiswa bisa mulai datang dan beraktivitas di kantor/lab di luar 3 bulan ini. Akibatnya, kadang ada mahasiswa yang mendadak muncul di kantor tanpa pernah saya kenal sebelumnya. Dan begitu juga, ada juga mahasiswa lama yang tiba-tiba sudah sampai di akhir masa studinya tanpa saya sadari. Rasanya nggak nyaman saja ketika kita sudah mulai akrab dengan suatu lingkungan, tapi orang-orangnya mendadak datang dan pergi silih-berganti tanpa ada periodisasi yang jelas.

Hikmah

Terlepas dari semua yang saya rasakan di atas, saya masih harus lebih banyak bersyukur. Saya cukup beruntung punya supervisor yang baik dan sangat mendukung saya. Lebih dari sekali kesempatan beliau memuji perkembangan saya. Di saat saya menemui jalan buntu, beliau kerap kali menyumbangkan ide-ide yang kadang lebih gila dari yang pernah saya pikirkan. Adakalanya beliau menyarankan saya mengecek pekerjaan dari koleganya yang berkaitan dengan apa yang saya kerjakan. Terakhir, beliau membolehkan saya ikut ke konferensi internasional di Jerman, dan bahkan mengenalkan saya kepada peneliti-peneliti yang selama ini hanya pernah saya dengar namanya melalui paper yang mereka tulis. Saya juga dianugerahi teman-teman yang baik, terbuka, dan asyik, yang meskipun bidang keahliannya berbeda-beda, tetap saling membantu dan menguatkan satu sama lain.

Sembilan bulan ini memang baru awal. Masih ada 39 bulan ke depan yang harus saya lalui. Pada akhirnya, semua memang kembali kepada kita: apakah kita melihat ini sebagai “rintangan” yang mesti dihindari atau “tantangan” yang jutru akan semakin memperkaya wawasan dan mendewasakan mental kita agar siap mengemban amanah besar, bukan hanya sebatas embel-embel “Ph.D” di belakang nama kita, tapi juga tanggung jawab untuk ikut mensejahterakan umat manusia dengan ilmu yang dianugerahkan kepada kita.

Subhaanaka laa ‘ilma lanaa illa maa ‘allamtanaa.

London, 11 Oktober 2015

Standard

8 thoughts on “The good and bad of being a research student: Refleksi Sembilan Bulan Studi Doktoral

  1. recky says:

    “Kalau dulu bisa diskusi seru dengan teman sekelas terkait PR…” –> Ataka yg saya kenal selalu bisa ngerjain PR sendirian tanpa perlu diskusi dengan teman :p

  2. efrat says:

    “Pada akhirnya, semua memang kembali kepada kita: apakah kita melihat ini sebagai “rintangan” yang mesti dihindari atau “tantangan” yang jutru akan semakin memperkaya wawasan dan mendewasakan mental kita agar siap mengemban amanah besar, bukan hanya sebatas embel-embel “Ph.D” di belakang nama kita, tapi juga tanggung jawab untuk ikut mensejahterakan umat manusia dengan ilmu yang dianugerahkan kepada kita.”

    kebanggaan jogja, kebanggaan indonesia, inspiratif…

  3. Ulfah Rizqiningtias says:

    Wah, terima kasih sekali Kakak sudah menulis ini, saya jadi dapat gambaran seperti apa menjadi mahasiswa doktoral meski saya sekarang baru menjadi mahasiswa sarjana. Saya minta izin share juga ya, Kak 🙂

Leave a reply to ahmadataka Cancel reply